Proses pemiskinan tak terhindarkan menggejala sebagai dampak penerapan mekanisme pasar jauh lebih cepat dibanding manfaat program antikemiskinan.
Penerapan mekanisme pasar yang disertai dengan ketidakmampuan pemerintah menstabilkan harga kebutuhan pokok sejak beberapa tahun terakhir, sungguh mengakibatkan daya beli masyarakat merosot tajam sekaligus memicu peningkatan angka kemiskinan. Di lain pihak, program-program antikemiskinan yang digulirkan pemerintah relatif tak mampu mengimbangi ekses mekanisme pasar berupa kemelaratan di masyarakat yang kian dalam dan luas.
Demikian pendapat pengamat kebijakan publik Ichsanuddin Noorsy, ekonom Aviliani, dan ekonom Sri Adiningsih yang dikemukakan secara terpisah di Jakarta, kemarin. Mereka sepaham bahwa kemiskinan yang kian parah berdampak mendistorsi optimisme bangsa menyangkut prospek cerah ekonomi nasional. Sebagai contoh, pembebasan ekspor rotan serta-merta mengakibatkan sekian banyak pengusaha kerajinan rotan gulung tikar.
Sekian banyak tenaga kerja pun otomatis menjadi pengangguran. Bagi kelompok sosial seperti mereka itu, optimisme dalam menapaki kehidupan sosial-ekonomi sungguh sudah pupus. “Semula kita yakin bahwa kehidupan ekonomi pascakrisis yang mencuat pada tahun 1997 bisa benar-benar pulih dalam tempo sepuluh tahun. Tetapi ternyata tidak bisa. Ini karena pilihan kebijakan pemerintah salah arah,” kata Noorsy.
Menurut dia, kedaulatan pangan yang seharusnya terwujud lewat ketahanan dan kemandirian ekonomi nasional praktis cuma mimpi. Itu akibat kebijakan pemerintah tidak sungguh-sungguh merujuk ke arah penegakan kedaulatan ekonomi nasional. “Demokrasi di bidang politik tak disertai dengan demokratisasi di bidang ekonomi. Ditambah ketidakmampuan pemerintah mengendalikan harga berbagai kebutuhan pokok dan strategis, terutama, itu membuat kehidupan ekonomi kita sekarang sudah tak berdaulat lagi,” katanya.
Noorsy menegaskan, kebijakan pemerintah terkait kedaulatan ekonomi harus dikembalikan sesuai amanat UUD 1945, khususnya menyangkut pengaturan hak ekonomi dan budaya. “Kita jangan terus dibajak kaum yang proekonomi liberal,” katanya.
Dalam pandangan Noorsy, tiga masalah klasik yang dihadapi ekonomi nasional–kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan–sama sekali tidak kunjung teratasi. Angka kemiskinan, pengangguran, juga ketimpangan antarlapisan sosial maupun antardaerah justru semakin lebar dan mendalam. Itu, katanya, merupakan konsekuensi logis pertumbuhan ekonomi yang berprinsip neoliberal.
“Selama politisi, birokrat, dan pebisnis bersikap promekanisme pasar, jangan bermimpi ketiga masalah ekonomi itu akan pernah bisa teratasi,” ujar Noorsy. Dia menambahkan, ekonom Barat sendiri sebenarnya telah mengakui bahwa mekanisme pasar yang diterapkan secara penuh tidak bakal mampu menyelesaikan masalah mendasar di bidang ekonomi. Teori efek tetesan ke bawah yang dianut penyokong sistem ekonomi neoliberal terbukti gagal. Kesenjangan ekonomi justru makin menjadi-jadi.
Menurut Noorsy, peningkatan ekspor dan cadangan devisa hanya ditopang kenaikan harga komoditas dan aliran uang panas (hot money). Perbaikan kondisi sektor perbankan juga semu karena lebih merupakan dampak infus bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Utang Negara(SUN)–bukan hasil pengucuran kredit ke sektor riil.
“Track record pemerintah yang buruk dalam mengatasi kenaikan harga kebutuhan pokok jelas bisa memicu instabilitas serta mempercepat ekses politik lebih awal dari dugaan,” kata Noorsy.
Sementara itu, Aviliani mengatakan, kesulitan pangan yang dikhawatirkan terjadi berkepanjangan akibat fluktuasi harga kini menjadi sumber proses pemiskinan. Apalagi program antikemiskinan yang selama ini dikampanyekan pemerintah gagal mengantisipasi masalah di lapangan.
Potensi peningkatan angka kemiskinan kini sangat kasat mata. Gejolak harga kebutuhan pangan dan komoditas strategis merupakan faktor dominan yang mengondisikan persoalan kemiskinan ini semakin memprihatinkan. “Kalau harga-harga yang naik tinggi itu tidak kembali ke harga lama, sementara pendapatan masyarakat tidak bertambah, daya beli rakyat jelas turun drastis. Dalam kondisi demikian, kemiskinan jelas kian bertambah,” tuturnya.
Secara terpisah, Sri Adiningsih mengingatkan kemungkinan inflasi melaju tinggi jika pemerintah tidak mampu mengendalikan harga kebutuhan pokok masyarakat. “Kalau pemerintah tidak mampu mengendalikan harga kebutuhan primer yang kini naik cukup signifikan, dikhawatirkan akan terjadi inflasi yang cukup tinggi,” katanya.
Menurut Adiningsih, inflasi diperkirakan mencapai dua digit kalau pemerintah gagal mengendalikan harga kebutuhan primer. “Tingginya inflasi akan membuat target pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan pemerintah sebesar 6,8 persen pada tahun ini jadi sangat sulit dicapai,” katanya. Masalah ini harus diantisipasi pemerintah melalui upaya menstabilkan harga kebutuhan primer seperti BBM dan komoditas pangan. Ini karena menyangkut kehidupan masyarakat bawah. “Jika persoalan ini tidak diantisipasi, dikhawatirkan juga akan menimbulkan dampak sosial. Apalagi kebutuhan primer itu sebagian besar diimpor sehingga harganya tergantung situasi ekonomi global. Ini berbeda jika komoditas primer itu produk domestik, akan lebih mudah mengatasinya,” ujarnya.
Posting Komentar