Keutuhan manusia sebagai pribadi dapat dimungkinkan melalui pemahaman, penghayatan dan meresapkan nilai-nilai yang terkandung dalam suatu karya seni rupa sebagai salah satu bagian dari kebudayaan. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang dianugerahi pikiran, perasaan dan kemauan secara naluriah memerlukan pranata budaya untuk menyatakan rasa seninya, baik secara aktif dalam kegiatan kreatif, maupun secara pasif dalam kegiatan apresiatif.
Dalam kegiatan apresiatif, yaitu mengadakan pendekatan ter­hadap seni rupa seolah-olah kita memasuki suatu alam rasa yang kasat mata. Seni rupa sebagai karya seni yang nampak rupa seolah-olah hanya dapat dihayati dengan indra mata. Maka itu kadang-kadang seni rupa itu disamakan dengan seni visual, yakni seni yang aktifitasnya erat sangkut pautnya dengan visi indrawi (mata) Tetapi sebenarnya seni rupa itu lebih dari yang hanya bersifat lahiriah semata, yakni lebih dalam lagi dan meliputi pula visi bathiniah.
Seni rupa sebagai karya yang kasat mata, perwujudannya itu adalah merupakan wadah pembabaran idea yang bersifat bathiniah Dalam mengadakan pendekatan terhadap seni rupa seluruh pancaindra kita, khususnya penglihatan, perabaan dan perimbangan kita terlibat dengan asyiknya terhadap bentuk seni rupa itu yang terdiri dari aneka warna, garis, bidang, tekstur dan sebagainya yang bersifat lahiriah itu untuk seterusnya menguak alam kesadaran jiwa kita untuk lebih jauh menghayati isi yang terbabar dalam karya seni rupa itu serta idea yang melatar belakangi kehadirannya.
Maka itu dalam mengadakan pendekatan terhadap karya seni rupa kita tidak cukup hanya bersimpati terhadap karya seni rupa itu, tetapi lebih dari itu yaitu secara empati (empathy). Empati berasal dari kata Yunani yang berarti Terasa di dalam, sedangkan simpati yang juga berasal dari kata Yunani berarti merasa dengan. Jadi dalam menghayati suatu karya seni secara empati berarti kita menempatkan diri kita ke dalam karya seni itu.
“Seorang pribadi yang berempati orang ini mencoba melihat dunia dari makhluk manusia lain, melalui mata dari orang lain. Empati memerlukan keterlibatan, imajinasi, pengertian, identifikasi dan interaksi. Dengan faktor-faktor tersebut maka kualitas em­pati lebih meningkat”
Dengan kesediaan kita mempelajari suatu karya seni secara empati, yaitu mencoba memahami apa yang sebenarnya terbabar dalam karya seni itu, baik terhadap karya seni yang berasal dari jaman lampau maupun dari masa kini dari daerah yang sama atau berjauhan,berarti kita telah terbuka untuk memahaminya.
Memang, pada dasarnya manusia bersifat sukar memahami manusia lainnya, termasuk bersifat sukar menerima karya seni bentuk-bentuk asing. Pemahaman terhadap karya seni bentuk-bentuk asing seperti karya seni rupa prmitif atau karya seni rupa kuno, bahkan juga terhadap karya seni rupa modern tidaklah mudah, Satu syarat yang masih dituntut oleh seni modern yang bahkan merupakan ciri khasnya, ialah kreativitas. Dari sebuah perkataan ini tercantumlah beberapa sifat yang merupakan gejala-gejalanya. Oleh karena itu untuk menghindarkan istilah modern yang bermuka banyak itu tadi, ada yang menamai seni modern itu dengan “seni kreatif”. Contoh, karya-karya seni rupa modern adalah karya-karya seniman :
a.Paul Cezane,
b.Paul Gauguin,
c.Vincent van Gogh,
d.Pablo Picasso,
e.Naum Gabo,
f.Antoine Pevsner,
g. Ozcenfant,
h.Marinelti,
i.Mari Utrillo,
j.Max Chagal,
k.Henry Moor,
l.Kandinsky dan sebagainya.
Di Indonesia kita mengenal seniman pelukis dan pemahat modern antara lain:
  1. Affandi,
  2. Popo Iskandar,
  3. Zaini,
  4. G. Sidharta,
  5. Klul,
  6. Cokot,
  7. Ida Bagus Nyana dan sederetan seniman muda lainnya

Karya-karya mereka (sebagian) dipajang di becrapa lempat scperti :Balai Seni Rupa Pusat di Jakarta, Museum Affandi di Yogyakarta, Museum bali di Denpasar, Pusat Kesenian Bali di Denpasar, dan di beberapa tempat kolektor lainnya.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama