Kebijakan Pemerintah 

•           Kebijakan mengenai tarif bea masuk komoditi: Keputusan Menteri Keuangan No. 60/KMK.01/2002 s/d/ No. 100/KMK.01/2002. Bea masuk untuk garment ditetapkan antara 15% s/d 20%.

•           Kebijakan mengenai barang yang diatur tataniaganya: Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 642/MPP/Kep/9/2002. Impor gombal baru dan bekas (Ex. 6310.90.000) yang sebelumnya boleh diimpor oleh importir umum limbah (IU Limbah) menjadi dilarang sama sekali.
Kebijaksanaan di Bidang Ekspor

•           Kebijakan mengenai ketentuan umum di bidang ekspor: Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 575/MPP/Kep/VIII/2002. Tekstil dan Produk Tekstil (Ex HS 4202, 5001s/d 6310, Ex 6405), khusus untuk ekspor tujuan negara kuota (Amerika Serikat, Uni Eropa, Kanada, Norwegia dan Turki) termasuk ke dalam barang yang diatur ekspornya.

•           Kebijakan mengenai kuota: Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor : 311/Mpp/Kep/10/2001 tentang Ketentuan Kuota Ekspor Tekstil Dan Produk Tekstil. Seperti diketahui, beberapa negara importir menerapkan sistem kuota untuk impor tekstil dan produk tekstil mereka. Untuk itu Pemerintah mengeluarkan kebijakan mengenai kuota dan manajemen kuota yang transparan agar pemanfaatan kuota lebih optimal, memberi kemudahan serta lebih memberi kepastian bagi dunia usaha.
Investasi
•           Kebijakan mengenai daftar bidang usaha yang tertutup bagi penanaman modal: Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 96 Tahun 1998. Industri pertekstilan tidak tercantum didalam daftar negatif investasi, kecuali bidang usaha yang dicadangkan untuk industri kecil/usaha kecil yang bekerjasama dengan pengusaha menengah atau besar. Bidang industri kecil/usaha kecil yang dicadangkan untuk pengusaha kecil ini untuk industri garment adalah industri peci dan kopiah.
Lingkungan

•           Kebijakan mengenai kegiatan yang wajib dilengkapi dengan AMDAL: Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 17 Tahun 2001. Industri garment dan TPT pada umumnya tidak termasuk ke dalam industri yang wajib dilengkapi oleh AMDAL. Akan tetapi, di dalam ketentuan umum, disebutkan bahwa AMDAL diperlukan untuk industri-industri yang tingkat pembebasan lahannya pada wilayah urban: metropolitan dengan luas > 5 ha, kota besar dengan luas > 10 ha, kota sedang dengan luas > 15 ha, kota kecil dengan luas > 20 ha. Untuk wilayah pedesaan, luas yang disyaratkan adalah > 30 ha.

Perjanjian Internasional
•           ATC (Agreement on Textiles and Clothing): Program pengganti MFA yang mulai berlaku 01-01-1995 dengan masa transisi sepuluh tahun. Berdasarkan perjanjian ini, sektor garment dan tekstil akan sepenuhnya terintegrasi dengan WTO pada tanggal 01-01-2005. Setelah tanggal tersebut ATC akan tidak berlaku lagi dan yang berlaku hanya perjanjian WTO. 4.5.

Dampak terhadap Industri Garment
Industri garment merupakan salah satu industri andalan Indonesia dan sampai saat ini merupakan salah satu industri yang menjadi penyumbang devisa terbesar bagi negara. Oleh karena itu, secara umum kebijakan pemerintah diarahkan untuk mendukung keberadaan industri tersebut dan mampu bersaing, baik di pasaran dalam negeri maupun ekspor. Di bidang investasi, sektor industri pertekstilan masih terbuka lebar, baik dalam rangka penanaman modal dalam negeri maupun asing (PMA).
Kebijakan di bidang impor dan ekspor juga masih diarahkan untuk melindungi industri garment tersebut, antara lain dengan mengenakan bea masuk yang cukup tinggi terhadap produk impor (antara 15% – 20%), melarang impor gombal baru maupun bekas dan memberi kemudahan ekspor bagi produsen yang berniat mengekspor produknya. Mengingat produk garment adalah produk yang dikenakan kuota oleh beberapa negara importir maka pemerintah, melalui serangkaian kebijakan, berusaha mengatur agar kuota ekspor tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal.

Kebijakan Kuota
Dalam perdagangan internasional, penerapan kuota TPT oleh beberapa negara tertentu dianggap membantu memperluas perdagangan global. Hal ini karena negara eksportir secara lama kelamaan akan kehabisan kuota, yang akan mendorong para buyer untuk mencari negara baru yang belum memperoleh hambatan kuota. 
Dengan semakin meningkatnya ekspor, negara produsen baru tersebut lambat laun akan dikenai kuota juga. Hal ini akan mendorong para buyer untuk mencari negara baru lagi yang masih belum terkena kuota.Bagi pengusaha garment, adanya kebijakan kuota tersebut cenderung merugikan karena mereka harus mendapatkan jatah kuota untuk dapat mengekspor ke negara-negara kuota meskipun mereka telah memperoleh order dari buyer. Hal itu menimbulkan potensi kerugian bagi pengusaha karena sebenarnya mereka mampu memenuhi order tersebut. Potensi kerugian juga dapat timbul karena buyer mengalihkan order ke negara lain karena takut bahwa kuota untuk komoditi yang dipesannya telah terlampaui.

Perjanjian Internasional (ATC)
Pada intinya, ATC adalah perjanjian penghapusan kuota. Tujuan utama dari ATC adalah untuk membawa sektor ini sesuai dengan peraturan GATT/WTO yang melarang adanya hambatan kuantitatif dalam perdagangan. Berdasarkan data dari sekretariat GATT, pengaruh dari dimasukkannya Putaran Uruguay pada tahun 2005 akan meningkatkan nilai perdagangan menjadi US$ 500 miliar. Hal itu berarti jauh diatas angka perdagangan 1994, yakni US$ 129 miliar untuk tekstil dan US$ 140 miliar untuk garment. 
Selain itu, penerapan ATC juga menyimpan potensi pertumbuhan tambahan yang mencapai US$ 100 miliar.
Dampak keseluruhan dari ATC adalah bahwa negara-negara dengan nilai ekspor tekstil dan garment cukup besar kemungkinan besar akan memperoleh keuntungan dari ATC tersebut, terutama adalah beberapa eksportir dinamis di Asia.ATC merupakan periode persiapan bagi negara-negara berkembang agar siap menghadapi perdagangan internasional tekstil dan garment yang bebas kuota mulai awal tahun 2005. Hambatan kuantitatif dalam perdagangan internasional diharapkan akan hilang begitu ATC tidak berlaku lagi, akan tetapi akan banyak hambatan non-tarif yang muncul. Kenyataan bahwa proses integrasi di dalam ATC yang jauh dari memuaskan mungkin merupakan berkah tersembunyi karena memberikan waktu bagi negara-negara berkembang untuk mempersiapkan diri menuju perdagangan yang lebih bebas dan transparan.
Terdapat banyak wilayah perdagangan bebas seperti NAFTA, EU, AFTA, dll., yang diijinkan oleh WTO. Dimungkinkan untuk memberikan perlakukan khusus diantara naggota-anggota wilayah perdagangan bebas tersebut. 
Negara-negara yang menjadi anggota wilayah perdagangan tersebut akan diuntungkan karena bebas bea masuk, sementara yang bukan anggota akan tetap dikenakan tarif (7% – 32% untuk AS dan 17-18% untuk Kanada misalnya).Dengan demikian, setelah ATC, perdagangan diharapkan akan bebas dari kuota, akan tetapi tarif masih tetap berlaku. Dengan demikian masih akan muncul problem-problem baru begitu ATC hilang. Salah satu masalah potensial adalah Eco-label, metoda produksi dan produk yang ramah lingkungan. Saat ini, hal itu bukan merupakan hal yang wajib, akan tetapi pada suatu hari akan menjadi masalah bagi negara berkembang. Hal yang mirip seperti social clause, code of conduct dan child labour merupakan potensi masalah. Sama juga dengan rules of origin dan anti-dumping. 
Dengan kata lain, dengan selesainya ATC, perdagangan internasional untuk tekstil dan garment tidak akan menjadi bebas, akan tetapi akan menjadi lebih liberal dan transparan.Bagi Indonesia, dengan dihapuskannya kuota maka daya saing di pasar internasional menjadi faktor kunci dalam mempertahankan ekspornya. AFTA akan menguntungkan Indonesia, namun wilayah-wilayah perdagangan bebas lainnya akan memberikan hambatan bagi produk-produk dari Indonesia. Dengan demikian, Indonesia harus bersaing, tidak saja dengan negara-negara eksportir garment utama, akan tetapi juga produsen yang ada di wilayah-wilayah perdagangan bebas tersebut 

Post a Comment

أحدث أقدم